BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tunanetra
Tunanetra
adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan/tidak berfungsinya
indera penglihatan. Tunanetra memiliki keterbatasan dalam penglihatan antara
lain:
1.
tidak dapat melihat gerakan tangan
pada jarak kurang dari 1 meter,
2.
ketajaman penglihatan 20/200 kaki
yaitu ketajaman yang mampu melihat suatu benda pada jarak 20 kaki, dan
3.
bidang penglihatannya tidak lebih
luas dari 20º. (Heward & Orlansky, 1988:296)
Anak
tunanetra memiliki karakteristik antara lain:
1.
Fisik
Keadaan fisik
anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata
diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya. Gejala tunanetra yang
dapat diamati dari segi fisik misalnya, mata juling, sering berkedip,
menyipitkan mata, mata (kelopak) merah, mata infeksi, gerakan mata tak
beraturan dan cepat, mata selalu berair (mengeluarkan air mata), dan pembengkakan
pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
2.
Perilaku
Ada beberapa
gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang
mengalami gangguan penglihatan secara dini yaitu:
a.
menggosok mata secara berlebihan,
b.
menutup atau melindungi mata
sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan,
c.
sukar membaca atau dalam mengerjakan
pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata,
d.
berkedip lebih banyak daripada
biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan,
e.
membawa bukunya ke dekat mata,
f.
tidak dapat melihat benda-benda yang
agak jauh,
g.
menyipitkan mata atau mengkerutkan
dahi,
h.
tidak tertarik perhatiannya pada
objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti
melihat gambar atau membaca,
i.
janggal dalam bermain yang memerlukan
kerjasama tangan dan mata,
j.
menghindar dari tugas-tugas yang
memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh, dan
k.
adanya beberapa keluhan seperti: mata gatal,
panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal, banyak mengeluh tentang
ketidakmampuan dalam melihat, terasa pusing atau sakit kepala, kabur atau
penglihatan ganda.
3.
Psikis
a.
Mental/intelektual
Intelektual
atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak
normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas
bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar.
Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi
dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih,
gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
b.
Sosial
1)
hubungan sosial yang pertama terjadi
dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang
ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang
tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah
di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima
perlakuan orang lain terhadap dirinya,
2)
tunanetra mengalami hambatan dalam
perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
a)
curiga
terhadap orang lain
Akibat dari
keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan
lingkungan, sehingga kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati
yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain. Untuk
mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan bergerak dan berbuat, maka
latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera
lainnya akan membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa
percaya diri.
b)
perasaan
mudah tersinggung
Perasaan
mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang
diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan
seorang tunanetra yang emosional.
c)
ketergantungan
yang berlebihan
Ketergantungan
ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung
mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra harus diberi kesempatan
untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana
seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan sendiri sejak
kecil.
Sementara berdasarkan definisi World Health
Organization (WHO), seseorang dikatakan Low Vision (Penglihatan Rendah)
apabila:
1.
memiliki kelainan fungsi penglihatan
meskipun telah dilakukan pengobatan, misalnya operasi dan atau koreksi refraksi
standart (kacamata atau lensa),
2.
mempunyai ketajaman penglihatan
kurang dari 6/18 sampai dapat menerima persepsi cahaya,
3.
luas penglihatan kurang dari 10
derajat dari titik fiksasi, dan
4.
secara potensial masih dapat
menggunakan penglihatannya untuk perencanaan dan atau pelaksanaan suatu tugas.
Beberapa
ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
a.
menulis dan membaca dengan jarak
yang sangat dekat,
b.
hanya dapat membaca huruf yang
berukuran besar,
c.
mata tampak lain; terlihat putih di
tengah mata (katarak) atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat
berkabut,
d.
terlihat tidak menatap lurus ke
depan,
e.
memicingkan mata atau mengerutkan
kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu,
f.
lebih sulit melihat pada malam hari
daripada siang hari, dan
g.
pernah menjalani operasi mata dan
atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan
jelas.
B. Klasifikasi
Anak Tunanetra
1.
Berdasarkan
waktu terjadinya ketunanetraan:
a.
Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni
mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan,
b.
Tunanetra setelah lahir atau pada
usia kecil, yaitu mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual
tetapi belum kuat dan mudah terlupakan,
c.
Tunanetra pada usia sekolah atau
pada masa remaja, yaitu mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan
meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi,
d.
Tunanetra pada usia dewasa, yaitu umumnya
mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian
diri, dan
e.
Tunanetra dalam usia lanjut, yaitu
mereka yang sebagian besar sudah sulit
mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
2.
Berdasarkan
kemampuan daya penglihatan:
a.
Tunanetra ringan (defective
vision/low vision), yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan
tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu
melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan,
b.
Tunanetra setengah berat (partially
sighted), yakni mereka yang kehilangan
sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu
mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal,
c.
Tunanetra berat (totally blind),
yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
3.
Berdasarkan
pemeriksaan klinis:
a.
Tunanetra yang memiliki ketajaman
penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari
20 derajat, dan
b.
Tunanetra yang masih memiliki
ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik
melalui perbaikan.
4.
Berdasarkan
kelainan-kelainan pada mata:
a.
Myopia adalah penglihatan jarak
dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan
menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita
Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
b.
Hyperopia adalah penglihatan jarak
jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan
menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada
penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
c.
Astigmatisme adalah penyimpangan
atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata
atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak
dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses
penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa
silindris.
C. Penyebab
Tunanetra
1.
Pre-natal
Faktor
penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan
masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:
a.
Keturunan
Ketunanetraan
yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara,
sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat
faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, yaitu penyakit
pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit
menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar
melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan
sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.
b.
Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan
yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan
oleh:
1)
gangguan waktu ibu hamil,
2)
penyakit menahun seperti TBC,
sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam
kandungan,
3)
infeksi atau luka yang dialami oleh
ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan
pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang
sedang berkembang,
4)
infeksi karena penyakit kotor,
toxoplasmosis, trachoma dan tumor. tumor dapat terjadi pada otak yang
berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri, dan
5)
kurangnya vitamin tertentu, dapat
menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
2.
Post-natal
Penyebab
ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau
setelah bayi lahir misalnya:
a.
kerusakan pada mata atau saraf mata
pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras,
b.
pada waktu persalinan, ibu mengalami
penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada
ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya
penglihatan,
c.
mengalami penyakit mata yang
menyebabkan ketunanetraan, misalnya penyakit mata karena kekurangan vitamin A, penyakit
mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola
mata meningkat, dan
d.
kerusakan mata yang disebabkan
terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia
yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan.
D. Pendidikan
untuk Anak Tunanetra
1. Jenjang
Pendidikan
a.
Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB)
1)
Kurikulum:
a)
Program Umum yaitu: pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu
Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajian Tangan dan Kesenian, Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan Program Khusus yaitu: Orientasi dan Mobilitas, dan
Braille
b)
Program Muatan Lokal antara lain:
Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, Kesenian Daerah atau lainnya yang telah
ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Daerah setempat
2)
Susunan
Program Pengajaran: kegiatan belajar sekurang-kurangnya 30 sampai 42 jam
pelajaran tiap minggu. Untuk kelas I dan II setiap jam pelajaran lamanya 30
menit, kelas III sampai dengan VI setiap jam pelajaran lamanya 40 menit.
3)
Lama Pendidikan: berlangsung selama
sekurang-kurangnya 6 tahun.
4)
Usia: sekurang-kurangnya berusia 6
tahun
5)
Rasio guru dan murid: 1 guru
mengajar maksimal 12 siswa.
6)
Sistem guru: guru kelas,
kecuali untuk mata pelajaran Orientasi dan Mobilitas, Pendidikan Agama, Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan, team teaching, dan mengembangkan program pendidkan
individual bagi siswa tunanetra yang membutuhkan layanan tertentu.
2. Model
Pendidikan
a.
Pendidikan
Khusus (SLB)
SLB adalah
lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus yang meliputi: Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra, yaitu
sekolah yang hanya memberikan pelayanan pendidikan kepada anak tunanetra, dan
Sekolah Dasar Luar Biasa, yaitu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan
khusus, dengan bermacam jenis kelainan yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
dan tunadaksa.
b.
Pendidikan
Terpadu
Pendidikan
Terpadu ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal dalam
satuan pendidikan yang bersangkutan di sekolah reguler (SD,SMP, SMA dan SMK)
dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang
bersangkutan (Kepmendikbud No. 002/U/1986). Dalam pendidikan terpadu ini harus
disiapkan:
1)
Seorang guru Pembimbing Khusus (Guru
PLB), dan
2)
Sebuah ruangan khusus yang
dilengkapi dengan alat pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus. Ruangan
khusus ini dibuat dengan tujuan apabila anak yang berkebutuhan khusus tersebut
mengalami kesulitan di dalam kelas, maka ia dibawa ke ruang khusus untuk diberi
pelayanan dan bimbingan oleh guru Pembimbing Khusus. Bimbingan ini dapat berupa
bantuan untuk lebih memahami dan menguasai materi pelajaran, menggunakan alat
bantu atau alat peraga, pengayaan agar ketika anak belajar di kelas bersama
anak lainnya anak tunanetra sudah siap menerima materi pelajaran, dan rehabilitasi
sosial bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan dalam bergaul
dengan teman sebayanya.
c.
Guru
Kunjung
Di dalam
sistem Pendidikan Luar Biasa terdapat sebuah model pelayanan pendidikan bagi
anak yang berkebutuhan khusus yaitu dengan model Guru Kunjung. Model guru
kunjung ini dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus usia sekolah. Oleh karena sesuatu hal, anak tersebut tidak dapat belajar di sekolah khusus atau
sekolah lainnya, seperti tempat tinggal yang sulit dijangkau akibat dari
kemampuan mobilitas yang terbatas, jarak sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi
anak tunanetra yang tidak memungkinkan untuk berjalan, menderita penyakit yang
berkepanjangan, dll.
Pelayanan
pendidikan dengan model guru kunjung ini bisa dilaksanakan di beberapa tempat,
seperti rumah anak tunanetra sendiri, sebuah tempat yang dapat menampung
beberapa anak tunanetra, dan rumah sakit. Kurikulum yang digunakan pada model
guru kunjung adalah kurikulum PLB, kemudian dikembangkan kepada program
pendidikan individual yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan
masing-masing anak.
d.
Pendidikan
Inklusif
Pendidikan
inklusif adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang
memerlukan pendidikan khusus pada sekolah reguler dalam satu kesatuan yang
sistemik. Berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992, anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus seperti tunanetra dapat belajar secara terpadu dengan
anak sebaya lainnya dalam satu sistem pendidikan yang sama.
Layanan pendidikan
di dalam pendidikan inklusif memperhatikan beberapa hal, yaitu kebutuhan dan kemampuan siswa, satu sekolah
untuk semua, tempat pembelajaran yang sama bagi semua siswa, pembelajaran
didasarkan kepada hasil assessment, tersedianya
aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan siswa, sehingga siswa merasa aman
dan nyaman, dan lingkungan kelas yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Sementara untuk kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang fleksibel, disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
3. Alat
Pendidikan
a.
Bagi
Tunanetra
Alat
pendidikan bagi tunanetra dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu alat
pendidikan khusus, alat bantu dan alat peraga. Alat pendidikan khusus anak tunanetra antara lain: reglet dan
pena, mesin tik Braille, computer dengan program
Braille, printer Braille, abacus, calculator bicara, kertas
braille, penggaris Braille, dan kompas bicara.
Sementara alat bantu pendidikan bagi anak tunanetra sebaiknya
menggunakan materi perabaan dan pendengaran. Alat bantu perabaan sebagai sumber
belajar menggunakan buku-buku dengan huruf Braille. Untuk alat bantu
pendengaran sebagai sumber belajar diantaranya talking books (buku bicara), kaset, CD, dan kamus bicara.
Alat peraga untuk
tuanetra menggunakan tactual atau
audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.
Alat peraga tersebut antara lain:
1)
benda asli seperti: makanan,
minuman, binatang peliharaan (kucing, ayam, ikan hias), tubuh anak itu sendiri,
tumbuhan/tanaman, elektronik, dan kaset.
2)
benda asli yang diawetkan: binatang
liar/buas atau yang sulit di dapatkan,
3)
benda asli yang dikeringkan
(herbarium, insektarium)
4)
benda/model tiruan: model kerangka
manusia, model alat pernafasan,
5)
gambar timbul sesuai dengan bentuk
asli seperti grafik, dan diagram,
6)
gambar timbul skematik seperti
rangkaian listrik, dan denah.
7)
peta timbul,
8)
globe timbul,
9)
papan baca, dan
10) papan paku.
b.
Bagi Low Vision (Penglihatan Rendah)
1)
Alat bantu
optik antara lain: kacamata, kacamata perbesaran, syand magnifier, hand magnifier, kombinasi, telescop, dan CCTV
2)
Alat bantu
non optik antara lain: kertas bergaris
tebal, spidol, spidol hitam, pensil
hitam tebal, buku-buku dengan huruf yang diperbesar, penyangga buku, lampu
meja, typoscope, tape recorder ,
dan bingkai untuk menulis.
3)
Alat
peraga bagi anak low vision antara lain:
gambar-gambar yang diperbesar.
a)
benda asli, seperti makanan,
minuman, binatang peliharaan (kucing, ayam, ikan hias), tubuh anak itu sendiri,
tumbuhan/tanaman, elektronik, kaset,
b)
benda asli yang diawetkan seperti
binatang liar/buas atau yang sulit di dapatkan,
c)
benda asli yang dikeringkan
(herbarium, insektarium), dan
d)
benda/model tiruan seperti model
kerangka manusia, model alat pernafasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Heather Mason and
Stephen Mc. Call. (1991). Visual Impairment. London: David
Fulcon
Publisher Ltd
diakses
tanggal 23 Maret 2013 pukul 16.14 WIB
-JUANG_SUNANTO/PLB.diInodesia.pdf
diakses tanggal 23 Maret 2013
pukul
17.47 WIB
http://www.pkplkdikmen.net/tunanetra
diakses tanggal 23 Maret 2013 pukul
16.10
WIB
tanggal
23 Maret 2013 pukul 17.43 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus
diakses tanggal 23 Maret
2013
pukul 17.40 WIB